KATA PENGANTAR
Puji
syukur saya panjatkan kehadiratTuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat serta karunianya kepada kita semua. Sehingga saya
dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan baik.. Dengan pembuatan
makalah ini di harapkan mahasiswa dapat lebih memahami dan mendalami
materi-materi yang di berikan.selain itu agar mahasiswa dapat belajar
secara mandiri dengan mengambil dari banyak sumber baik dari buku-buku
maupun dari internet. Dan juga pembuatan makalah ini bertujuan untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah "Bahasa Inddonesia" yang telah di
berikan. Ucapan terimakasih tidak lupa saya sampaikan kepada semua pihak
yang telah membantu menyusun dalam pembuatan makalah ini. saya
menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan.Oleh
karena itu saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dan semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.Amin.
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN
Kualitas
pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan
antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks
Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari
peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala
yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin
menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan
ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Faktor-faktor
penghambat pendidikan umum di Indonesia antara lain adalah masalah
efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih
menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun
faktor-faktor penghambat yang khusus dalam dunia pendidikan di indonesia
yaitu:
1. Rendahnya sarana fisik
2. Rendahnya kualitas guru
3. Rendahnya prestasi siswa
4. Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan
5. Mahalnya biaya pendidikan.
Permasalahan-permasalahan
mengenai faktor-faktor penghambat pendidikan yang tersebut di atas akan
dibahas secara lebih rinci dalam makalah ini.
BAB II PEMBAHASAN
A.Kualitas
Pendidikan di Indonesia Seperti yang telah kita ketahui, kualitas
pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas
guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya
harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya.
Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi
guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali
guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru.
Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang
dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji
guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan
di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang
pensiun.
Sarana
pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan
di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi
penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu
terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak
masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti
kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
B. Penyebab Rendahnya KualitasPendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1.
Efektifitas Pendidikan Di Indonesia Pendidikan yang efektif adalah
suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar
dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang
diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan
trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar
pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas
pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan
melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya
adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan
pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan
pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak
mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini
merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas
pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu
apa tujuan kita
Selama
ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya
menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia.
Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang
terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi
dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah
yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah.
Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan
diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan
hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam
pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai
kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan
menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan
peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan
minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan
sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan
rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien
adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan
proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik
jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa
melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika
kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan
prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah
disepakati.
Beberapa
masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya
pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar
dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan
di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya
manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah
mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi
kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah
jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free
cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia
cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan
rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika
kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara
tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal
atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang
properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya
transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang
kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah
diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak
hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat
tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu
diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada
pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan
bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain
masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah
waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa
pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan
negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada
sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan
diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena
ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan
formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik
yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis,
bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan
yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya
mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang
dinilai kurang.
Selain
itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu
pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta
didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil
pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang
kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang
mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai
dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan,
yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi
jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal
lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran
dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta
didik.
Sistem
pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi
pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita
berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam
beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan
kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang
pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga
kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti
cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih
dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat
disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran
efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih
efektif.
Konsep
efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan
secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika
masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal.
Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi
ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas
keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan.
Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau
harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep
efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan
bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat
dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan
dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien
cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber
pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang
efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara
penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya
pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika
kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga
berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya
setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia
pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat
terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam
dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus
dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi
standar.
Seperti
yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan
formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan
kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di
dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru
untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan
Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan
terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu
pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang
tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh
standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan
tersebut.
Peserta
didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai
standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil
efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar
memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang
terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal
seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti
kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal
itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain
itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar
pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang
hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem
evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah
evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta
didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat
proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan
selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti
itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang
studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak
hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan
sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di
dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih
dalam lagi
Penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas
yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu
pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita
menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita
mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan
di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain
beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini
akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk
sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita
yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah,
buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar,
pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih
banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya. Data Balitbang
Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga
yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari
seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi
baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak
201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI
diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih
buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs,
SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan
guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum
memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya
sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan
melakukan pengabdian masyarakat. Bukan itu saja, sebagian guru di
Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru
menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan
pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan
28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk
SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak
mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta). Kelayakan mengajar itu
jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data
Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI
hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain
itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan
diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari
337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat
pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan
S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Walaupun guru dan pengajar bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin
kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas
pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar
yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan
guru.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan
keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan
kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak
memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa
Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in
Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya
berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan
di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini
prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai
negara tetangga yang terdekat. Dalam hal prestasi, 15 September 2004
lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah
mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di
seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report
2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi
ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga
saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Dalam skala
internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA
(Internasional Association for the Evaluation of Educational
Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa
kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca
untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6
(Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Anak-anak Indonesia ternyata hanya
mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali
menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini
mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal
pilihan ganda. Selain itu, hasil studi The Third International
Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999)
memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP
kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk
Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari
77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas
terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73
dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data
Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga
Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM)
untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa).
Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni
Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara
itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan
pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan
sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan
kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi
masalah ketidakmerataan tersebut.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan
bermutu itu mahal.Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku
pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan
lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk
masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp
1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA
bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin
mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di
Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan
mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang
merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya,
pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah
Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai
keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite
Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya,
Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan
MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi
ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan
(RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk
Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar.
Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan
tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum
yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa
contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak
pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi
atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak
lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran
utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap
tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya,
sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban.
Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari
APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan
dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN
(www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan
dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang
Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat
berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti
halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education
Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai
bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah
melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah
memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan
pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya
untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang
kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan
masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miskin.
Hal
senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,
privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah
dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui
Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah
berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan
menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya
sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga
perguruan tinggi.
Bagi
masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa
pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di
Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara
berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya
pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan
biaya pendidikan.
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus
murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya
membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin
setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat
bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya
Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk
‘cuci tangan’.
C. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk
mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi
yang dapat diberikan yaitu: Pertama, solusi sistemik, yakni solusi
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem
pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan
sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang
ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab
neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan
tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan
pendidikan. Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang
menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik,
kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga
perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita
menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi
kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan
dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa
pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang
berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk
menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa. Maka, solusi
untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis
untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru,
misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga
diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan
kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan
alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
BAB III PENUTUP
Kualitas
pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan
dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi
penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi
pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang
menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun
solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem
pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
DAFTAR PUSTAKA
http://forum.detik.com.
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.
http://www.detiknews.com. http://www.sib-bangkok.org.
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.
Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar!
Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar!